Jumat, 06 Mei 2016

Prospek Pengembangan Ayam Lokal di Indonesia



A.    Prospek Pengembangan Ayam Lokal di Indonesia

Prospek pengembangan ternak ayam lokal di Indonesia  memiliki potensi, dan peluang yang sangat positif untuk meningkatkan swambada  ke depan pada tahun 2020 yang akan datang. Dan dapat juga sebagai penyuplai tambahan deficit permintaan daging pada tahun ke depan. Banyak hal yang mendukung dan faktor kendala – kendala pengembangan ayam lokal di seluruh wilayah nusantara yang berada di desa – desa berbagai daerah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. 
Permintaan terhadap ayam lokal di Indonesia, saat ini mengalami penurunan akibat persaingan global dunia industri yang dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan daging didalam negeri sehingga pemerintah mengambil  kebijakan mengimportir daging dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan permintaan akan daging di Indonesia. Begitu pula dengan banyaknya industri – industri  perusahaan perunggaasa ayam ras sehingga pengembangan ayam lokal di Indonesia terkebelakangkan oleh pemerintah, pengusaha, peternak, dan masyarakat luas. Protein hewani yang berasal dari ayam lokal banyak juga diminati masyarakat untuk upacara keagaman, dan upacara adat tradisional, ada pula sebagai bahan pengobatan. Adapun hal yang diketerbelakangkan pengembangan ayam lokal ini yaitu dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia sehingga lahan untuk pemeliharaan ayam lokal sangat terbatas, meningkatnya pendapatan rumah tangga sehingga masyarakat tidak lagi memelihara ayam  lokal sebagai penghasilan tambahan atau tabungan dikemudian hari, lebih baik membeli ayam yang sudah dipotong langsung dipasar dan masih segar. Ada pula perubahan gaya hidup modern dan meningkatnya kesadaran akan gizi dalam menyeimbangkan kemampuan dalam mencerdaskan regenerasi kehidupan bangsa Indonesia.
Ayam lokal cukup adaptif terhadap iklim tropis dan tahan terhadap pengelolaan dan lingkungan yang buruk serta lebih rentan terhadap penyakit. Di Indonesia pemeliharaan ayam lokal sangat mempunyai keuntungan yang lebih besar sebab daya tahan dari penyakit lebih cenderung kebal daripada ayam ras. Mewujudkan kedaulatan pangan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan protein hewani di Indonesia. Melestarikan ayam – ayam lokal supaya tidak punah dimakan kemajuan jaman yang serba teknologi dan membudidayakan secara terus menerus sehingga menghasilkan keturunan – keturunan yang lebih baik untuk dipelihara.

B.     Pengembangan Sistem Perbaikan Mutu Bibit Ayam Lokal

Dalam perbaikan mutu bibit ayam lokal, diperlukan pembinaan terhadap kegiatan pemuliaan dan proses produksi bibit ditunjang oleh adanya iklim usaha yang kondusif jaringan informasi pasar, fasilitas permodalan, kelembagaan usaha petani, peternak serta dukungan teknologi proses penampungan, pengemasan dan transportasi, sesuai dengan petunjuk teknis yang diterbitkan Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Keberhasilan suatu program kegiatan pelestarian dan pemanfaatan ayam lokal secara operasional harus diikuti dengan adanya pengembangan sistem perbaikan mutu bibit ayam lokal, dengan cara penyempurnaan dan evaluasi sistem yang sudah ada.

Subsistem produksi
Teknik produksi dan budidaya yang dikembangkan diutamakan pada suatu system yang memperhatikan tidak hanya pelestarian dan perbaikan mutu bibit ayam lokal, tetapi
juga meliputi berbagai aspek pelestarian lingkungannya serta nilai-nilai budayanya. Upaya perbaikan mutu bibit ayam local meliputi :
a.       Peningkatan populasi ayam lokal di habitat aslinya,
b.      Peningkatan mutu bibit untuk tujuan produksi telur dan atau daging,
c.       Pengendalian populasi dan penyebaran luasannya,
d.      Pembentukan rumpun dan galur komersial yang menggunakan ayam lokal sebagai sumber genetiknya.

Subsistem standarisasi mutu bibit
Setiap jenis ayam lokal yang sudah dianggap stabil keragaan dan mutu genetiknya,
dibakukan karakteristiknya dan perlu mendapat perhatian khusus dengan cara :
a.       Evaluasi mutu bibit secara berkala (misalnya lima tahun sekali),
b.      Penyebarluasan standar bibit diikuti dengan pemantauan dan pengendalian secara terpadu,
c.       Penyebarluasan informasi sumber bibit yang mutunya sudah diakui,
d.      Pencatatan pelaporan dan sosialisasi hasil pembibitan.


Subsistem pengawasan mutu bibit
Pengawasan bertujuan untuk menjamin mutu bibit sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pengawasan mutu bibit dilakukan oleh lembaga/asosiasi yang ditunjuk sebagai pengawas bibit dalam rangka standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang peternakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan sistem mutu bibit pada tahap pra produksi (penilaian dan pemantauan sarana produksi) dan tahap proses produksi (penilaian dan pemantauan proses produksi bibit dan sistem jaminan mutu bibit). Lembaga pengawas bertugas dalam pemantauan sistem pelabelan dan sertifikasi. Pengawas dapat berfungsi sebagai lembaga yang berwenang melakukan RST (Random Sample Test) misalnya Balai Penelitian, Perguruan Tinggi yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan/Dinas Peternakan. Pengawasan dilakukan terhadap produk dan mutu yang dihasilkan oleh pembibit.
Bibit ayam lokal yang telah diakui perlu mendapat perlindungan dan pengawasan dalam bentuk :
a.       Pemberian nama identitas merek (labelling) yang jelas dan telah disosialisasikan
b.       Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh lembaga yang berwenang,
c.      Pengendalian peredaran dan penyebaran bibit ayam lokal dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, asosiasi dan perorangan,
d.   Pemanfaatan umpan balik dari pelanggan dan pembina, serta para pelaku pelestarian melalui transformasi dari/pada masyarakat/konsumen/ praktisi. Sistem umpan balik dalam bentuk menampung dan mengevaluasi informasi dapat merupakan cara pemantauan terhadap status dan mutu setiap jenis unggas lokal serta prospek pengembangannya

Langkah – Langkah Operasional


Jangka pendek
Upaya jangka pendek dirancang untuk menampung kegiatan yang bersifat teknis dan operasional, serta berfungsi sebagai langkah awal upaya pelestarian ayam lokal.
a.       Pembentukan organisasi pelestarian ayam local
b.      Penyusunan program kerja dalam hal pelaksanaan pelestarian ayam lokal.

Jangka menengah
Upaya pelestarian dan pengendalian mutu bibit ayam lokal dapat dilakukan dengan meningkatkan kegiatan yang bersifat kajian dan pelaporan untuk evaluasi dan kajian
standar dan mutu ayam lokal.
a.       Penyelenggaraan seminar/workshop/forum diskusi ayam local
b.      Evaluasi standar dan mutu bibit ayam lokal secara berkala
c.       Evaluasi dan akreditasi produsen bibit ayam lokal yang telah berhasil dan memenuhi persyaratan mutu bibit.
 

Jangka panjang
a.   Pusat-pusat informasi mempunyai tanggung jawab moral untuk mendokumentasikan informasi ayam lokal secara terpadu. Pembuatan dan pengolahan data dasar nasional
b.      Penyusunan dan pembakuan standar bibit ayam lokal Indonesia
c.      Publikasi nasional dan internasional informasi ayam local
d.      Penyimpanan informasi data ayam nasional.

Klasifikasi Kelas Tanah dan Kelas Kemampuan Lahan

Klasifikasi Kelas Tanah

Tanah kelas I 


Tanah kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Tanahnya datar, dalam, bertekstur halus dan sedang, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Tanah kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan dan oleh karenanya dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur yang baik diperlukan untuk menjaga kesuburannya dan mempertinggi produktivitas.

Tanah kelas II


Tanah kelas II sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Tanahnya berlereng landai, kedalamannya dalam atau bertekstur halus sampai agak halus. Jika digarap untuk usaha pertanian semusim diperlukan tindakan pengawetan tanah yang ringan seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, atau guludan, di samping tindakan-tindakan pemupukan seperti pada kelas I.

Tanah kelas III


Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II sehingga memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng agak miring, atau berdrainase buruk, kedalamannya sedang, atau permeabilitasnya agak cepat. Tindakan pengawetan tanah khusus seperti penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan tanaman penutup tanah di mana waktu untuk tanaman tersebut lebih lama, disamping tindakan-tindakan untuk memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah.

Tanah kelas IV


Tanah kelas IV sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas III, sehingga memerlukan tindakan khusus pengawetan tanah yang lebih berat dan lebih terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak pada lereng yang miring (15-30 %) atau berdrainase buruk atau kedalamannya dangkal. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim diperlukan pembuatan terras atau pembuatan drainase atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah/makanan ternak/pupuk hijau selama 3 – 5 tahun.

Tanah kelas V


Tanah kelas V tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak secara permanen atau dihutankan. Tanah kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung sehingga selalu tergenang air atau terlalu banyak batu diatas permukaannya atau terdapat liat masam (cat clay) di dekat atau pada daerah perakarannya.

Tanah kelas VI


Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, disebabkan karena terletak pada lereng yang agak curam (30 – 45 %) sehingga mudah tererosi, atau kedalamannya yang sangat dangkal atau telah mengalami erosi berat. Tanah ini lebih sesuai untuk padang rumput atau dihutankan. Jika digarap untuk usaha tanai tanaman semusim diperlukan pembuatan terras tangga/bangku. Penggunaannya untuk padang rumput harus dijaga agar rumputnya selalu menutup dengan baik. Penebangan kayu, jika dihutankan harus selektif.

Tanah kelas VII


Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, tetapi lebih baik untuk ditanami vegetasi permanen. Jika digunakan untuk padang rumput atau hutan maka pengambilan rumput atau pengembalaan atau penebangan harus dilakukan dengan hati-hati. Tanah kelas VII terletak pada lereng yang curam (45 – 65 %) dan tanahnya dangkal, atau telah mengalami erosi yang sangat berat
Tanah kelas VIII tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian, dan harus dibiarkan pada keadaan alami atau dibawah vegetasi alam. Tanah ini dapat dipergunakan untuk cagar alam, daerah rekreasi atau hutan lindung. Tanah kelas VIII adalah tanah-tanah yang belereng sangat curam atau lebih dari 90 % permukaan tanah ditutupi batuan lepas atau batuan ungkapan, atau tanah yang bertekstur kasar.

Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kelas Kemampuan I

Lahan kelas kemampuan  I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumputm hutan produksi, dan cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas kemampuan I mempunyai salah satu  atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut: (1) terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%), (2) kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, (3) tidak mengalami erosi, (4) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (5) umumnya berdrainase baik, (6) mudah diolah, (7) kapasitas menahan air baik, (8) subur atau responsif terhadap pemupukan, (9) tidak terancam banjir, (10) di  bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.

Kelas Kemampuan II

Tanah-tanah dalam lahan kelas kemampuan II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian tanaman semusim. Hambatan pada lahan kelas II sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan  tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi dan cagar alam.
Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari faktor berikut: (1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %), (2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang, (3) kedalaman efetif sedang (4) struktur tanah dan daya olah kurang baik, (5) salinitas sedikit sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinabn timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau pengelolannya.

Kelas Kemampuan III

Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan pengunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika digunakan bagi tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka marga satwa.
Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III  membatasi lama penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu  atau beberapa hal berikut: (1) lereng yang agak miring atau bergelombang (>8 – 15%), (2) kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, (3) selama satu bulan setiap tahun dilanda banjir selama waktu lebih dari 24 jam, (4) lapisan bawah tanah yang permeabilitasnya agak cepat, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas simpanan air, (6) terlalu basah  atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau kandungan natrium sedang, (9) kerikil dan batuan di permukaan sedang, atau (1) hambatan iklim yang agak besar.

Kelas kemampuan IV

Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas  III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih  hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam.
Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng yang miring atau berbukit (> 15% – 30%), (2) kepekaan erosi yang sangat tinggi, (3) pengaruh bekas erosi yang agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk), (8) terdapat banyak kerikil atau batuan di permukaan tanah, (9) salinitas atau kandungan Natrium  yang tinggi (pengaruhnya hebat), dan/atau (1) keadaan iklim yang kurang menguntungkan.

Kelas Kemampuan V

Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilanghkan yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam. Tanah-tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu (lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan) atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut.
Contoh tanah kelas V adalah: (1) tanah-tanah yang sering dilanda banjir sehingga sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim secara normal, (2) tanah-tanah datar yang berada di bawah iklim yang tidak memungknlah produksi tanaman secara normal, (3) tanah datar atau hampir datar yang > 90% permukaannya tertutup batuan atau kerikil, dan atau (4) tanah-tanah yang tergenang yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi dapat ditumbuhi rumput atau pohon-pohonan.

Kelas Kemampuan VI

Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pengunaan pertanian. Penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) terletak  pada lereng agak curam (>30% – 45%), (2) telah tererosi berat, (3) kedalaman tanah sangat dangkal, (4) mengandung garam laut atau Natrium (berpengaruh hebat), (5) daerah perakaran sangat dangkal, atau (6) iklim yang tidak sesuai.
Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus  dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam lahan kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi  yang berat seperti, pembuatan teras bangku yang baik.

Kelas Kemampuan VII

Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan unuk tanaman pertaniah harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-ceara vegetatif untuk konserbvasi tanah , disamping yindkan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunuaio bebetapa hambatan atyai ancaman kerusakan yang berat da tidak dapatdihiangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam (>45 % – 65%), dan / atau (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki.

Kelas kemampuan VIII

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas VIII dapat berupa: (1) terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%), atau (2) berbatu atau kerikil (lebih dari 90%  volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), dan (3) kapasitas menahan air sangat rendah.  Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu terungkap, dan pantai pasir.